Ditulis oleh Indra YT
Genggaman tangan ibu begitu erat. Dari situ dapat kurasakan kesakitan yang dideritanya dan perjuangan hidup matinya. Jika aku baru pertama kali menyaksikannya mungkin separuh nyawaku sudah terbang tak tentu arah. Erangan nafas ibu begitu menghujam jantungku. Aku hanya dapat membalas dekapan tangan ibu di telapak tanganku.
Ayah yang sejak setengah tahun lalu mengadu nasib di negara tetangga tak tahu bagaimana anginnya. Tinggallah aku dan ibu yang mungkin bertambah satu lagi. Ibu masih berjuang untuk mengerang, mengejan bahkan untuk bernafas. Mbok Kandis yang hanya diam dalam melaksanakan ritualnya menambah kebisuan malam yang penuh dengan rintihan.
Genggaman tanganku masih membalut tangan ibu yang takkan kulerai hingga prosesi ini selesai. Selama tujuh tahun aku hidup di dunia ini sudah tiga kali aku terlibat langsung dalam adegan yang menurutku mematikan. Sudah tiga kali pula aku menyaksikan serah terima benda yang dikeluarkan ibu dengan berlumur darah oleh ayahku. Ibu yang terkulai lemah tak mampu mencairkan hati ayah yang membatu. Padahal imbalan yang kami terima tak seberapa. Ibu hanya tidak akan memulung selama beberapa minggu. Aku dapat merasakan apa yang bercokol dalam hati ibu. Wajahnya yang tidak ikhlas, matanya yang berpeluh, desahan nafasnya yang mengamuk.
Nafas ibu semakin menderu seperti puting beliung, genggaman tangan ibu semakin mengikat seperti lilitan ular akan mangsanya. Aku mulai panik. Ini berbeda. Biasanya aku hanya menyapu butiran air dikeningnya. Kali ini aku harus menyeka air yang mengalir dari matanya. Seharusnya ibu senang karena ayah tidak ada untuk menyerahkan separuh nyawanya kepada orang lain.
Mbok Kandis yang membisu mulai mengeluarkan suara yang menurutku tanda kepanikan. Tanpa melepaskan genggaman ibu, aku mencoba membaca goresan-goresan wajah Mbok Kandis. Di sana terlihat bahwa Mbok Kandis putus asa, tidak mampu menyelesaikan prosesi ini. Aku menatapnya penuh harap. Mbok Kandis berusaha lagi. Aku tak tahu apa yang dilakukan Mbok Kandis di balik kain yang menutupi selangkangan ibu.
“Sungsang!” Sekilas terdengar suara angin di telingaku sekaligus desiran darahku mengalir seribu kali lebih cepat. Aku tidak tahu apa artinya tapi dari raut wajah Mbok Kandis yang begitu ketakutan dan wajah ibu yang begitu kesakitan, aku yakin ini berbahaya.
Aku hampir menangis. Kuciumi ibu yang terus-menerus mengerang kesakitan. Dia mulai menatapku. Dan aku tak mampu berkata apa-apa. Entah dia mendengar atau tidak, dalam hati aku terus memberi semangat. Matanya mulai terkatup dan genggamannya mulai melemah. Sesaat semuanya menjadi ricuh berusaha menyadarkan ibu. Aku menggenggam, meremas, menggosok-gosok tangan ibu. Sementara Mbok Kandis menyebarkan bau-bauan yang amat sangat menyengat.
Ibu masih tidak sadarkan diri. Aku diguncang kepanikan yang luar biasa. Tubuhku gemetar sama rasanya ketika aku tidak makan selama dua hari. Butiran bening mulai mengucur dari kening Mbok Kandis. Batinku terus merajut doa pada Yang Kuasa. Aku menyesali permintaan ibu untuk dibawa kemari karena dari awal aku sudah merasa sangat khawatir padahal prosesi serupa yang terdahulu dilakukan di tempat ini juga. Tapi aku juga tak dapat berbuat apa-apa karena terlalu sulit bagi orang-orang seperti kami untuk dapat menembus gedung putih.
Usaha kami menyadarkan ibu tidak sia-sia. Prosesi itu berlanjut kembali tapi dengan erangan yang menyiratkan kesakitan yang begitu dahsyat. Baru kali ini kulihat ibu begitu tersiksa. Ibu mengejan, memekik, dan merapatkan giginya sekuat-kuatnya. Ruh dan jasadku seakan terpisah karena tak sanggup mendengar teriakan ibu. Apakah ibu juga merasakan sakit yang sama ketika melahirkan aku? Apakah ibu-ibu lain juga harus menderita ketika harus melahirkan anak-anaknya? Dan aku, apakah ketika nantinya akan melahirkan anak-anakku juga harus tersiksa? Aku tak sanggup membayangkannya.
Usaha ibu berhasil. Seonggok daging berbalut ari-ari dan lumuran darah telah keluar dengan diiringi tangisan merdu. Aku lega, dan ibu terlihat lebih tenang. Ibu sibuk mengatur nafasnya yang mengalir satu per satu. Mbok Kandis pergi entah kemana membawa bayi itu.
Kembali kusapu kening dan pipi ibu. Aku mulai membersihkan selangkangannya dari cairan-cairan merah berbau amis yang muncrat entah kemana. Aku heran, sesuatu yang ganjil terjadi. Mengapa darah ibu mengalir begitu derasnya seperti mata air yang mengalir di belakang rumahku?
Aku panik. Malam yang kelam telah menelan Mbok Kandis. Barisan paduan suara binatang malam menghambat pendengaranku akan tangisan bayi yang dibawanya. Di ambang pintu aku hanya memandang hitamnya awan yang menutupi bulan dan putihnya wajah ibu yang sendu dan sayu. Untunglah Mbok Kandis segera kembali dengan bayi yang didekap kuat dengan jarik usang. Melihat keadaan ibu, Mbok Kandis langsung menyerahkan apa yang ada di tangannya kepadaku. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, biasanya ayah yang langsung menggendongnya dan memberikan kepada orang lain.
Ibu terkulai lemas dan nyaris tidak ada kehidupan diwajahnya. Aku mendekati ibu tanpa menghiraukan Mbok Kandis yang sudah kehabisan akal dan tenaga untuk membantu ibu. Mata ibu terbuka. Tanpa tenaga ia berusaha meraih bayi dalam gendonganku. Kusambut tangan ibu dan menggenggamnya. Aku mengerti apa yang dikatakannya lewat mata pilunya.
Waktu seolah berhenti. Untuk beberapa saat aku terpaku menatap wajah ibu yang putih pucat. Guratan-guratan kesedihan yang selama ini dipangkunya hilang sudah. Penderitaan-penderitaan yang selalu ditelannya sirna sudah. Tinggallah aku yang akan memikulnya. Tanpa tetesan embun dan kucuran peluh dari mataku, aku menyaksikan ibu tanpa perlawanan meregang nyawa. Teringat aku pada pesan ibu yang terakhir.
“Ibu, dengan apa aku menyusuinya?”
S e l e s a i
Tidak ada komentar:
Posting Komentar